Review Novel EGOSENTRIS Karya Syahid Muhammad

00.18

- Kita harus mengerti, kapan harus bicara dan kapan harus mendengar -


- Blurb-
"Pada bait ke sekian, diksi-diksi yang berbaris,
kehilangan arah setelah koma yang berkepanjangan.
Mereka baru menyadari bahwa dirinya
hanyalah potongan tanya utusan Penyair Agung.
Yang saling mencari penjelasan, saling mengartikan maknanya sendiri.
Kemudian tetap menjadi tanya, tetap mencari, dan menemukan."

untuk yang ketakutan dan bersembunyi.
untuk yang dibedakan dan diasingkan

tegak dan hiduplah
-Egosentris-


     Kali ini gue mau review novel karya Syahid Muhammad yang berjudul "Egosentris". Buku ini buku pertamanya sebagai penulis tunggal. Sebelumnya ia berkolaborasi dengan Stefani Bella menulis buku berjudul "Kala" dan "Amor Fati". Cetakan pertamanya pada bulan maret 2018. Gue baca buku ini atas rekomendasi temen gue, yang tidak lain dan tidak bukan yang punya bukunya. hahaha. iyaa iyaa, gue minjem. Awalnya dia nawarin gue buat baca karna menurut dia buku ini bacaan yang pas buat gue yang kuliahnya jurusan psikologi. Bukunya memang berbau-bau psikologi. Tokoh utamanya pun adalah mahasiswa psikologi. Jujur sih, baca buku ini butuh waktu yang cukup lama. Karna mager sih, wahaha. Kalo baca setengah-setengah atau seuprit-seuprit, gue lupa detail-detail cerita sebelumnya. Jadi gue ulang lagi bacanya. Apalagi sepertiga diawal. Gue baru ngeh setelah ngulang beberapa kali. Sampai gue ngerti ritme ceritanya. Menurut gue novel ini ngajak kita buat mikir dan buat kita melek hal-hal yang terjadi di sekitar kita.
     Buku setebal 371 halaman yang diterbitkan oleh Gradien Mediatama ini menceritakan 3 sekawan (Fatih, Fana, dan Saka) mahasiswa psikologi  yang berkutat dengan problem-problem psikologis dalam perkuliahannya, pun di kehidupan sebenarnya. Dan secara tidak langsung mereka juga mengalami sendiri problem-problem tersebut. Mereka bertiga sama memendam dendam dan masalah dalam dirinya. Tapi mereka menyikapinya berbeda-beda. Fatih dan Saka sudah tidak memiliki ayah. Namun dalam segi ekonomi nasib mereka berdua berbeda. Fatih kuliah dengan beasiswa. Ia tidak disukai oleh teman-temannya, karena sikapnya yang selalu mengungkapkan pikirannya secara terus terang tanpa menghiraukan bagaimana orang akan menilainya. Ia sangat tidak suka social judgment yang tidak tepat pada tempatnya apalagi di sosial media. Sedangkan Fana, masih memiliki orang tua yang lengkap. Sebagai anak tunggal dari orang tua yang juga seorang psikolog, semua hal  harus terstruktur dan sesuai dengan arahan kedua orang tuanya. Fana adalah pendengar setia Fatih yang memiliki segudang rahasia. Dibanding Fatih, Saka lebih beruntung dalam segi ekonomi. Namun dalam diri Saka terdapat problem-problem keluarga yang menumpuk. Saka lebih memilih memendam tak ingin diungkapkan dan diselesaikan hanya karena ego. Dalam kesehariannya di kampus ia membungkus masalah-masalahnya itu dengan topeng keceriaan dan candaan. Saka dikenal ramah di kampusnya., karna kepribadiannya yang easy going. Persahabatan mereka sangat kuat, meski dibumbui dengan pertengkaran dan adu mulut karena beda pemikiran. Namun hal tersebut tak membuat persahabatan mereka runtuh, malah semakin erat.
     Yang paling disorot dalam buku ini ialah Fatih. Karena hal-hal buruk yang menimpanya di masa lalu membuatnya memiliki kecenderungan gangguan psikosomatik. Ayahnya meninggal dengan tragis. Ibunya menjanda saat dirinya masih kecil. Meskipun bisnis kosmetik ibunya bangkrut, ibu Fatih tak bisa lepas dari kosmetik. Suatu saat ibunya rindu dicintai hingga membuat ia depresi. Ketika depresinya sedikit demi sedikit membaik, nasib buruk pun menimpanya. Ibu Fatih diperkosa dan dibunuh. Hal itu membuat Fatih semakin tertekan. 
     Buku yang sangat recomended untuk dibaca sih ini. Karakter masing-masing tokoh yang sangat menarik. Problematika yang cukup complicated. Kalo kita melek berita dan kejadian-kejadian di sekitar kita, hal-hal tersebut sering kita  jumpai, Isu sosial, depresi karena tekanan, sexual harassment, judgemental. Terutama tentang social judgement dalam bentuk sindiran, cibiran, candaan terlebih pada komentar-komentar netizen di media sosial. Hal yang mungkin bisa kita petik menurut gue, kita harus  lebih bijak menyikapi masalah-masalah yang ada di sekitar kita. Masalah bukan bahan candaan. Karna masalah gak sebercanda itu. Masalah ada untuk diselesaikan bukan untuk diperpanjang atau bahkan diperumit. Dan dalam menyelesaikan masalah kita harus mengerti, kapan harus bicara dan kapan harus mendengar. Sehingga terjadi mutualisme antara didengar dan mendengar. Menurut Bi Asih, Hidup adalah tentang bagaimana berat bisa seindah mungkin untuk diringankan.
"Apa yang membuat kita berpikir, kita tak punya cinta, atau tak dicintai? Apa karena masing-masing kita terlalu sibuk mencari, hingga lupa menyadari bahwa kita memilikinya? Apa karena ketidakcukupan yang memperdayakan?
Cinta ada dimanapun. Ditempat-tempat yang terpencil, di kerut-kerut paling kasar, di masa-masa paling gelap, di waktu-waktu paling putus asa. 
 Cinta akan saling menemukan kita, mungkin melalui hal-hal paling dekat, melalu cara-cara yang tidak kita bayangkan. Dari kehadiran-kehadiran yang setia, dari telinga-telinga yang rela mendengar, dari diam-diam yang memendam, dari khawatir dan marah yang akhirnya tumpah, dari cemburu-cemburu yang disembunyikan, dari kebetulan-kebetulan yang mengejutkan"     --- Egosentris, 368 ---
     Keren banget sih ini novel. Ada gemesnya, ada meweknya, ada jengkelnya, nano-nano dah rasanya. Gue rekomendasiin buku ini jadi salah satu referensi bacaan kalian. Semoga review ini bermanfaat. Doain juga semoga gue bisa istiqomah nulis di blog ini dan memberikan tulisan-tulisan yang bermanfaat buat kalian semua ^^

You Might Also Like

0 komentar

Popular Posts

Like us on Facebook

Flickr Images

Subscribe